I. Pengertian Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmah nya
Taqrir
adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan
beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan
perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.
Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
“Dikala
Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk
dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya
Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan
Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah
aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)
tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut
Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam
Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh
Rasulullah.
Khabar
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat,
jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah
hadits.
Atsar
adalah segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu
termasuk perkataan tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para ulama salaf.
Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal dari selain Nabi disebut atsar.
Sunnah
adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan
ber’itiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan,
ditempuh dan diridloi oleh Nabi.
Hadits Qudsi adalah hadits yang mengandung kalimat langsung perkataan Allah, cirinya dimulai dengan “Allah berkata…”
a. Semua lafad ayat-ayat Al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang Hadits Qudsi tidak.
b. Perlakuan
terhadap Al-Qur’an -dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas kecil,
dilarang membacanya bagi yang ber hadas besar- tidak berlaku bagi Hadits
Qudsi.
c. Membaca Al-Qur’an setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca Hadits Qudsi tidak.
d. Al-Qur’an
semua susunan kata-katanya redaksinya berasal dari Allah, sedangkan
Hadits Qudsi redaksi kata-katanya terserah Rasulullah.
II. Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam
Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah Hadits.
Sebab-sebab Al-Qur’an lebih tinggi derajadnya dari hadits :
1. Al-Qur’an
kita terima dari Nabi dengan jalan Qoth’i (pasti) karena didengar dan
dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu.
Sedangkan hadits tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya
berupa dzan (dugaan kuat).
2. Para
sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan mentranmisikan
materinya kepada umat dalam keadaan aslinya (redaksinya) sehuruf pun
tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan mushaf itupun
terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi hadits
dapat diriwayatkan dengan maknanya saja.
3. Semua ayat Al-Qur’an Mutawatir. Sedangkan hadits kebanyakan tidak mutawatir.
4. Al-Qur’an
merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadits adalah penjelas
dari yang pokok atau hadits adalah cabang dari yang pokok. Bila hadits
yang cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang pokok
maka ditolak.
5. Ijma
Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum
suatu perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa Rasulullah
maka mereka merujuk ke Al-Qur’an, bila tidak ditemukan di Al-Qur’an maka
Khalifah mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada
yang pernah mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah tersebut,
bila ada yang menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum
berdasarkan hadits tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman
dan Ali dan tidak ada yang menyelisihi mengenai hal ini.
6. Dalam
hadits sendiri menunjukkan bahwa Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya,
yaitu hadits Muadz Bin Jabal ra yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Tirmidzi, yang menjelaskan urut urutan sumber hukum islam yaitu :
Al-Qur’an, Hadits dan “ajtahidu ro’yii” – ijtihad dengan akal
Sumber
hukum Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang
urusan yaitu umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.
Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas secara terperinci dalam ilmu ushul fikih, yang terkenal adalah :
1. Qiyas (analogi)
2. Ihtisan (keluar dari qiyas umum karena ada sebab yang lebih kuat)
3. Maslahah Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan pertimbangan kemaslahatan)
4. Saddudz Dzari’ah (menutup jalan yang menuju kemudhorotan)
5. Ar Raju’u ilal manfa’ati wal madharrati (mempertimbangkan kemanfaatan dan kemudhorotan)
6. Istishab (hukum yang diyakini menetap sebelumnya tidak dapat dirubah oleh yang masih meragukan)
7. Urf (kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat menjadi hukum).
dan lain lain sampai sekitar 40 macam.
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an :
1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.
Untuk
memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan penguasaan ilmu-ilmu
Al-Qur’an (ulumul Qur’an) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa Arab serta
menguasai kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat
mentakhsish atau me nasakh Al-Qur’an. Kemampuan ini harus dimiliki oleh
seorang mujtahid.
III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits
A. Periode Pertama (Jaman Rosul)
- Para
sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap
permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
- Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an
- Secara
umum Rasulullah saw melarang menuliskan hadits karena takut tercampur
baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang / masih diturunkan.
- Secara
umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan
hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan.
- Sebagian
kecil sahabat –yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti :
Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan hadits dan dikenal
sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir”
- Pada
event tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi
meluluskan permintaannya untuk menuliskan hadits untuknya.
- Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah di seluruh jazirah Arab.
- Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai penuturannya.
B. Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
- Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
- Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka.
- Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits kepadanya.
- Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits
- Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadits.
- Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
C. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
- Para sahabat besar telah terpencar kelur dari Madinah.
- Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary.
- Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits.
- Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
a. Abu Hurairah (5347 hadits)
b. Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
c. Anas Bin Malik (2236 hadits)
d. Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
e. Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
f. Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
g. Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
h. Ibnu Mas’ud
i. Abdullah Bin Amr Bin Ash
- Pada
waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah
Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok
(sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya
Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya
sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani
Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan
mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat
hadits palsu adalah Syiah Rafidah.
D. Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadits)
- Pada
waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta
pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan
wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang
ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
a. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
c. Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d. Peperangan
dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar
sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits
berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.
- Khalifah
Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad
Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya
dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin
Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.
Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :
“Lihat
dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu
tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama
dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda
sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang
tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga
dijadikannya barang rahasia.”
- Berdasarkan
instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan
menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin
Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti
Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
- Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a. Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
b. Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c. Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
d. Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
e. Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)
E. Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
1. Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
- Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
- Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
- Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan hadits.
- Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
- Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
- Penyusunan kitab Sahih Bukhory
- Penyusunan
enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang
diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi
mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan
oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke
enam kuttubus shittah itu adalah :
a. Sahih Bukhory
b. Sahih Muslim
c. Sunan Abu Dawud
d. Sunan An Nasay
e. Sunan At-Turmudzy
f. Sunan Ibnu Majah
2. Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad ke-IV H)
- Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada kitab-kitab hadits.
- Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab hadits.
- Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
- Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
- Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
- Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
- Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
- Menciptakan kamus hadits.
- Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhory-Muslim
- Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
- Menyusun
kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian
mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari
beberapa kitab.
- Menyusun
kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory
Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain
dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
- Menyusun
kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki
syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang
kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.
F. Periode ke-enam (dari tahun 656 H – sekarang)
- Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
- Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
- Membuat kitab-kitab jami’
- Menyusun kitab-kitab athraf
- Menyusun
kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak
terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnbya kedalam sebuah kitab yang
tertentu.
Sumber tulisan ini di sini
0 komentar:
Posting Komentar