Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham
bin Manshur al ‘Ijli. Ada yang mengatakan at Tamimy. Dia juga dikenal
dengan Abu Ishaq al Balkhi. Meninggal tahun 162.
Mungkin tidak ada yang banyak mengenal
bahwa beliau adalah seorang pangeran dari Balakh. Seorang pangeran kaya
raya dengan istananya yang megah gemilang. Kemegahannya saat itu belum
ada yang menandinginya.
Meskipun hidup bergelimang harta dan
kekuasaan tidak membuat hati beliau lalai. Bahkan beliau terkenal
sebagai orang yang taat beribadah dan sangat penyantun terhadap sesama
terlebih kepada orang-orang miskin di negerinya. Setiap Jum’at
dikumpulkan para fakir miskin di depan istananya dan ditaburkannya uang
dirham ke halaman istana. Ia juga gemar memberi hadiah bagi orang-orang
yang dianggap berjasa serta memberi zakat dan shadaqah jariyah pada
hari-hari tertentu.
Namun gemerlapnya dunia tidak dapat
membuatnya bahagia dan tidak mampu menghadirkan ketenangan jiwa. Bahkan
membuatnya hatinya dirundung gundah gulana. Hingga pada suatu malam,
saat penghuni istana sedang tidur terlelap, dia meninggalkan istana
dengan menyamar sebagai seorang papa. Baginya, kehidupan yang fana ini
semakin diteguk semakin merasa haus. Akhirnya sang pangeran meninggalkan
semuanya.
Dan pada suatu hari, Ibrahim bin Adham
didatangi seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut
bernama Jahdar bin Rabiah. Ia meminta nasehat kepada dirinya agar ia
dapat menghentikan perbuatan maksiatnya. Ia berkata, “Ya Aba Ishak, aku
ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku
cara yang ampuh untuk menghentikannya.”
Setelah merenung sejenak, Ibrahim
berkata, “Jika kamu mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, maka
aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Mendengar jawaban laki-laki tersebut
gembira dan dengan penuh rasa ingin tahu yang besar dia bertanya, “Apa
saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?”
“Syarat pertama, jika kau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rizki Allah”, ujarnya.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya lalu
berkata, “lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada
di bumi ini adalah rizki Allah?”
“Benar”, jawab ibrahim tegas. “Bila kau
telah mengetahuinya, masih pantaskah kau memmakan rizki-Nya sementara
kau terus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintah-Nya?”
“Baiklah…”, jawab lelaki itu tampak menyerah, “Kemudian apa syarat yang kedua?”
“Kalau kau bermaksiat kepaa Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya”, kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua ini membuat jahdar lebih
kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di
mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar. Karena itu pikirkahlah
baik-baik. Apakah kau masih pantas memakan rizki-Nya dan tinggal di
bumi-Nya sementara kau terus berbuat maksiat?”, tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak”, ucap Jahdar kemudian. “Lalu apa syarat yang ketiga?”, tanyanya dengan penasaran.
“Kalau kau masih juga bermaksiat kepada
Allah, tetapi masih ingin memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya,
maka carilah tempat yang terembunyi agar tidak terlihat oleh-Nya.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasehat macam apakah semua ini? Mana mungin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah melihat
kita, tetapi kau masih terus memakan rizkNya, tinggal di buminya, dan
terus melakukan maksiat kepada-Nya. Pantaskah kau melakukan semua itu?”,
tanya Ibrahim kepada lelaki yang masih tampak membisu itu. Semua ucapan
itu membuat Jahdar bin Rabiah tidak berkutik dan membenarkannya.
“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat yang keempat?”
“Jika malaikatul maut hendak mencabut
nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum
bertobat dan melakukan amal shaleh.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai
menyadari semua perbuatan yang dilakukan selama ini. Ia kemudian
berkata, “Tidak mungkin…. Tidak mugnkin semua itu kulakukan”.
“Ya Abdallah (hamba Allah), bila kau
tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau
dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya
syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham
untuk kesekian kalinya memberi nasehat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah
hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat, janganlah kau bersedia
ikut dengannya dan menjauhlah!”
Lelaki yang ada di hadapan Ibrahim bin
Adham itu tampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasehatnya. Ia menangis
penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal, ia berkata, “cukup…cukup ya
Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi
mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan
bertaubat nasuha kepada Allah”.
Lelaki itu memang menepati janjinya.
Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia
mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik
dan khusyuk.
Subhanallah, kisah yg bermanfaat izin copas..
BalasHapusnomor2.blogspot.com
monggo :)
BalasHapus