“Celakalah Khalid. Semoga tuhan Romawi melaknatnya.” Sumpah serapah itu
keluar dari mulut Argenta seraya menarik tali kekang kudanya meninggalkan medan
perang yang masih berdebu. Samar-samar terlihat ribuan tentara Romawi mulai
mengambil langkah seribu.
Argenta masih terengah-engah menahan lelah setelah seharian bertempur.
Jiwanya masih terguncang menghadapi kenyataan pahit kekalahan pasukannya,
ditambah lagi sebuah peristiwa tragis masih membekas di pelupuk matanya. Ketika
Argenta harus menyudahi duel mautnya melawan orang yang selama ini amat
disegani, seorang jenderal, panglima perang sekaligus seorang sahabat yang
selama ini menjadi atasannya. Gregorius Theodorus, panglima Romawi yang menjadi
muslim tewas di ujung pedang bawahannya sendiri, Argenta.
“Lari, ini instruksi Kaisar Heraklius!!! Kita harus mundur ke Armenia.
Berlindung dengan pasukan panah.” Margiteus resah. Topi besi yang menutupi
kepalanya melorot sepertiganya. Upaya evakuasi itu sungguh melelahkan.
“Apa yang terjadi dengan Gregorius?”
“Dia sudah mati.”
“Oh, malang benar orang itu.”
Dia seorang muslim,” imbuh Margiteus getir sambil mengusap-usap pedang
panjangnya.
“Hah, mustahil. Mana mungkin! Dia seorang Kristiani yang taat.”
“Aku telah membunuhnya.” Argenta terduduk lesu
“Cuma aku kesal dan menyesal, kenapa bisa seorang panglima ulung yang
pernah dimiliki bangsa Romawi harus mati di ujung mata pedangku.”
“Siapa yang akan menggantikannya?”
“Wardan.”
“Hah!!? Orang itu tahu apa tentang perang!” Argenta merasa sangat kecewa.
“Dia veteran perang wilayah tengah dulu. Kaisar Heraklius yang memberi
restu.”
“Bodoh benar! Kenapa posisi strategis diberikan kepada veteran yang
sakit. Orang itu tahunya cuma bagaimana bisa kabur. Si Pengecut itu mana
mungkin mampu menahan gempuran pedang orang Islam.”
Bunga-bunga api terpecik dari ranting kering yang coba disulut Argenta.
Bara api menjalar-jalar hampir menyentuh sepatu kulit lembunya yang berdebu
tebal.
“Kita pernah menaklukkan sepertiga dunia. Tapi kita kalah dari
orang-orang Khalid yang berperang tanpa baju besi. Ini salah siapa? Merekakah
yang kuat atau kita terlalu lemah!?”
“Mereka tak takut mati. Mereka menyukai mati seperti halnya kita
menyukai hidup ini.”
“Kau pernah melihat Khalid.”
“Pernah. Dua kali. Pertama sewaktu aku melakukan tugas pengintaian di
Parsi. Kedua saat dia bertarung dengan Gregorius sebelum dia memeluk Islam.”
“Berjanjilah atas kebenaran wahai sahabatku, Margiteus. Apakah begitu
gagah manusia bernama Khalid itu?”
“Pernahkah kau mendengar cerita para tentara Romawi mengenai kegagahan
Khalid.” Margiteus tersenyum getir. Dia menghela nafas, lesu sambil melempar
pandangan jauh ke gugusun bintang-bintang yang menghias cakrawala.
Argenta mengerutkan keningnya. Rasa ingin tahunya menyelinap ke seluruh
penjuru batok kepalanya. Menumbuhkan tanda tanya.
“Tuhan mereka telah menurunkan sebilah pedang dari langit kepada Nabi
Muhammad lalu diserahkannya kepada Khalid. Dan setiap kali Khalid menarik
pedangnya dia menjadi perwira tidak terkalahkan. Tiada lawan yang dapat
mengalahkannya sehingga mendapat gelar ‘Pedang Allah’ dari Nabinya.”
Argenta terpana sendirian. Kagumnya menelusup mendengar cerita-cerita
yang selama ini menjadi gunjingan teman-teman seperjuangannya. Malah menjadi
igauan para kaisar di imperium Romawi.
Bagaimanakah para tentara Parsi yang berbesi pemberat di kaki, agar
mereka tidak lari dari medan perang, namun bisa hancur luluh oleh pasukan
Khalid? Dia telah menguasai jalur perniagaan di kota Tadmur dan menguasai
Qaryatain di wilayah Homs. Kemudian satu persatu wilayah Syria jatuh ke tangan
mereka. Hawarin, Tsaniat-Iqab dan Busra. Semua lebur. Porak poranda. Hancur.
Pasukan semut menumpaskan bala tentara gajah. Musibah apakah yang tengah
menimpa imperiumku ini?
“Pedang Allah, dongengmu memang hebat. Mungkin hanya aku seorang dari
ribuan pejuang Romawi yang tidak mempercayainya.” Ketus Argenta menahan amarah.
Margiteus sudah bangun dari tidurnya, dia menyarungkan pedangnya ke sisi kuda
perang yang tengah asyik memamah santapan rumput hijau. Margiteus tampak lesu.
Mungkin sesuatu yang berat sedang dipikirkan. Episode perang esok, entah apa
yang akan terjadi?
***
Perang di bumi Yarmuk bertambah hebat tatkala masuk hari kedua. Ada
prestise yang perlu dipertahankan. Pasukan perang Romawi sekuat tenaga
mempertahankan Syria, wilayah kekuasaannya di sebelah timur. Sementara para
pejuang Islam membawa misi membebaskan Syria dari cengkeraman pejajahan Romawi
di samping tugas berat menyebarkan dakwah Islamiah.
Khalid dengan lantang menggelorakan semangat jihad. Semangat jihad yang
bagaikan suatu keajaiban telah dapat mengalahkan 240.000 pasukan Romawi walau
hanya dengan kekuatan 39.000 tentara Islam yang berani berkorban demi agama
mereka.
Argenta menjadi gentar dan seperti tak bernyali lagi menghadapi kehebatan
tentara Islam yang terus menggempur, menyerbu dan merangsek bagaikan air bah
yang pantang surut. Namun bukan berjiwa ksatria namanya kalau harus menerima
begitu saja kenyataan pahit itu. Tatkala Argenta merasakan ada titik-titik
kelemahan dari tentara Islam disitulah upaya serangan balik dilakukan. Mereka
menghantam sayap kiri dan sayap kanan barisan kaum muslimin. Sementara
pertempuran semakin memanas, Margiteus seperti tak terlihat kehadirannya di
sana, dia lenyap dalam hiruk pikuk Yarmuk.
“Wahai tentara Romawi, rekan-rekanku pembela kaisar yang setia. Perang
ini adalah perang tanding satu tentara Khalid lawan enam pasukan Romawi. Kalian
bukan anak-anak Romawi kalau mati di tangan mereka yang sedikit dan lemah itu.”
Argenta meniup semangat pasukannya.
Medan pertempuran semakin bergolak, kepulan debu, dentingan pedang
seakan tak pernah berhenti. Sesekali terdengar jeritan satu dua tentera
meregang nyawa, dalam erangan panjang yang memilukan. Ya! Perang memang sesuatu
yang kejam, seperti tak ada ruang untuk diberi belas kasihan. Benarlah, dalam
perang rasa kemanusiaan seakan sudah mati!
“Kaisar Heraklius melarikan diri ke Constantinople.” Teriak salah
seorang tentara Romawi di tengah berkecamuknya perang itu. Laungan teriakan itu
timbul tenggelam seakan ditelan kalutnya pertempuran, nyaris tidak diketahui
dari mana asal suara itu. Hal ini menjadi hantaman dahsyat yang meredupkan
semangat juang para tentara Romawi. Seorang Kaisar merangkap panglima tertinggi
melarikan diri! Tragis!!! Suatu tindakan sangat pengecut, setidaknya itu yang
ada di benak Argenta.
Dampaknya mulai terasa, luar biasa. Tentara Romawi mulai gentar. Mereka
tidak lagi memiliki garis komando di medan tarung itu. Daya tempur merosot
drastis. Mereka mulai berhitung bila melanjutkan perang, nyawa melayang atau
menjadi tawanan tentara Islam. Akhirnya banyak diantara mereka yang memilih
undur diri. Nyawa lebih penting!
“Bukan kaisar saja yang begitu. Semua panglima sama saja. Membiarkan
tentaranya bertempur di barisan depan. Sementara mereka mengambil posisi di
barisan belakang. Mereka dapat dengan leluasa melarikan diri. Mengapa mereka
menjadi penakut seperti itu. Ingat! Kita berjuang demi Romawi dan diri kita
sendiri. Bukan demi Kaisar.” Argenta memprotes semangat pasukan Romawi yang mulai
luntur.
“Jangan coba-coba durhaka kepada Kaisar. Kaisar banyak tugas yang harus
ditunaikan. Kita dalam keadaan terjepit sekarang. Tidak ada yang mengatur
strategi. Apatah lagi mendeteksi taktik musuh dan memompa semangat para
tentara. Kita terpaksa mundur juga.” Sergah seorang tentara menegur Argenta
yang merasa kecewa. Rasa iba muncul dalam dirinya. Diakui memang sukar mencari
tipikal prajurit Romawi sekaliber Argenta kini. Tapi apalah daya, sedangkan
Kaisar sendiri melarikan diri. Apalah yang diharapkan para tentara kini, yang
mereka tahu hanya menjunjung perintah. Tanpa jati diri yang teguh.
“Perhatian! Perhatian! Tentara Khalid menyerang dari belakang!”
Teriakan itu membuyarkan lamunan para tentara Romawi itu. Argenta mulai
beringsut dibelakang kuda warna coklat gelap, mencoba membalap kuda tentara
tersebut.
“Lihat di medan sana.” Argenta menoleh sambil memastikan letak yang
ditunjuk itu. Dari kejauhan peperangan masih berlangsung walaupun tidak sehebat
tadi karena banyak tentara Romawi yang sudah melarikan diri. Yarmuk bergolak
lagi.
“Kenapa? Ada apa?”
“Lihatlah manusia yang paling di depan di kalangan mereka. Itulah
Khalid.” Bola mata Argenta gesit membidik sasarannya. Terekam kegagahan Khalid
di kelopak matanya. Khalid sedang melaju dengan kudanya. Paling terdepan dan
paling piawai berkuda. Dia menangkis setiap hambatan di depannya sambil
melaungkan kalam Allah, mengobarkan jihad para pejuangnya. Dia menebas
leher-leher musuh. Baginya tak mengenal kamus mundur atau pun takut. Mengapa
tidak ada perwira Romawi seperti dia?”
“Ketua mereka bertempur paling depan tetapi mengapa bukan Kaisarku yang
bertempur paling depan. Inikah yang dikatakan pembela rakyat dan penerus
imperium Romawi. Kini tidak saja terdengar kebobrokan orang-orang Istana di
Eropa, tapi juga semuanya telah menular ke seluruh pelosok dunia. Pemerintahan
Tiranik! Pemeras airmata dan darah rakyat. Apakah ini balasan Tuhan kepada
imperium Romawi?”
Tanpa sadar air mata Argenta menetes. Inilah perasaan terhina yang baru
pertama kalinya dirasakan. Kecintaannya kepada Romawi sangat tinggi.
Ketaatannya kepada Kaisar tiada berbagi. Mengapa harus dibayar pengorbanan para
tentaranya dengan sikap pengecut para atasannya. Kuda dipacu Argenta
secepat-cepatnya. Biarlah kesengsaraan ini harus ditanggung terbang bersama
deru angin. Dia pasrah. Samar-samar terlihat kota Damascus berdiri megah.
Apakah kota ini sekokoh dulu? Argenta makin terbawa dalam lamunannya.
Pasukan Romawi kalah telak di tangan kaum muslimin. Mereka kehilangan
50,000 orang tentaranya. Rata-rata mereka mencari perlindungan di Damascus,
Antokiah dan Caesarea serta ada juga yang turut mabur bersama Kaisar Heraklius
ke Constantinople. Pertempuran sehari itu meninggalkan satu catatan buruk dalam
sejarah perang Romawi yang sulit dihapus dalam sejarahnya. Mereka harus
bertekuk lutut dengan pasukan yang bilangannya jauh kecil dengan peralatan
perang yang jauh tertinggal dibanding mereka.
***
Pasukan Romawi semakin terdesak. Kota Damascus dengan mudah jatuh ke
pangkuan kaum muslimin. Kota itu diserbu tatkala Raja Jabala IV mengadakan
jamuan kelahiran anak lelakinya. Khalid bersama beberapa orang tentara Islam
berhasil memanjat tembok kota sekaligus membuka pintu gerbang al-Syarqi dan
al-Jabiat. Panglima Vartanius yang mengepalai tentara Romawi di Kota Damascus
terpaksa melarikan diri ke Homs bersama sisa-sisa tentaranya. Raja Jabala IV
terpaksa mengirim utusan damai dan memilih membayar jizyah kepada kaum
muslimin. Argenta melarikan diri ke Antokiah.
“Argenta, ada surat dari sahabatmu, Margiteus,” Seorang lelaki yang
telah berumur memberikan sepucuk surat kepada Argenta. Langsung wajah Margiteus
membayangi hampir seluruh pikirannya di pagi yang cerah di Antokiah. Bukankah
Margiteus sudah ditawan di Yarmuk dulu? Dia masih belum mati?
Argenta,
Sungguh pun surat ini mungkin menimbulkan tanda tanyamu tapi percayalah
aku di sini senantiasa sehat dan sentosa di bawah lindungan Allah.
Aku masih hidup. Aku tidak seburuk yang kau gambarkan. Aku diberi makan
sebagaimana makanan mereka. Aku tidak dikuliti atau dibelenggu kaki dan tangan
untuk diinterogasi. Mungkin dengan inilah menyebabkan aku mengenal Allah swt
yaitu Tuhanku dan juga Tuhanmu walau waktunya mungkin sangat singkat.
Sahabatku, aku tidak dalam tekanan. Aku tidak dalam keadaan dipaksa sebagaimana
biasa dilakukan pemerintah Romawi yang menyeret paksa rakyat dengan kuda karena
menunggak pajak. Ada ketenangan di sini sehingga aku bisa mengenal siapa
sesungguhnya diriku, tujuan hidup dan agamaku yang satu. Semuanya jelas dan
terbentang indah di benak sanubari ini.
Argenta,
Khalid tidak sekejam yang kau gambarkan. Dia mungkin keras dan garang
di medan juang. Tapi dia masih mampu mengulur roti kepada tawanan yang tahu
arti menghormati. Raut mukanya tenang menyiratkan keteduhan jiwanya, hal itulah
yang membuat siapa saja tidak menyangka kalau dia itu Khalid, panglima Islam
paling agung. Percayalah!
Kau ingat juga kan dongeng tentang Khalid? Pedang yang konon diturunkan
dari langit. Itu semua dusta. Mungkin itu hanya cerita para penakut yang muncul
dari para lawan tarungnya setiap kali berhadapan dengan pedangnya. Pedang
Khalid hanya besi yang ditempa seperti pedang lain. Tidak ada yang istimewa.
Khalid dahulu juga seperti kita. Dia penentang Islam dan Rasulnya. Setelah
mendapat hidayah dia beriman. Gelar Pedang Allah hanyalah doa Nabi Muhammad ke
atasnya bahwa dia adalah pedang di antara sekian banyak pedang Allah, terhunus
buat menghadapi orang musyrik. Nabi Muhammad mendoakan agar Khalid senantiasa
menang di setiap perang yang diikutinya.
Argenta,
Kau tentu bertanya apa yang menyebabkan aku memilih Islam. Bukan saja
karena kebenaran ajarannya tetapi karena keluhurannya. Aku bertanya pada
Khalid. Bagaimana kedudukanku seandainya aku memeluk Islam dibanding dengan
dirinya yang sudah bertahun-tahun memeluk Islam. Jawabannya sama saja di sisi
Allah malah mungkin lebih mulia darinya sebaik ungkapan syahadah di bibir dan
diyakini di dalam hati. Aku sungguh takjub. Sampai sebegitukah? Tanyaku mana
mungkin jadi seperti itu. Kata Khalid dia pernah hidup bersama Nabi dan
menyaksikan keajaiban dan petanda keRasulan dan kebenarannya sedangkan orang
setelahnya dapat menerima Islam walaupun tidak pernah menyaksikan dan berjumpa
dengan Baginda, maka tentunya dia lebih mulia.
Mungkin kau menuduhku sebagai pengagum Khalid. Mungkin tuduhanmu itu
benar. Tapi percayalah aku mengagumi perjuangannya bukan jasadnya. Cintanya
sangat tinggi kepada Allah dan Rasulnya. Itulah yang membuatnya tidak gentar
menghadapi musuh. Dia ingin benar mati di medan perang. Tidak seperti kita yang
sungguh takut akan kematian karena kecintaan kepada dunia ini. Aku
bertanya-tanya. Kalau begitulah kondisi Khalid. Tentu sungguh agung sekali
agama dan pegangan yang dianutnya. Dia setia, jujur, luhur, optimis dan seorang
genius perang. Sesuatu yang sukar dicari dalam diri kita sendiri.
Argenta,
Sudilah aku menyeru kepadamu ke jalan kebenaran yang hakiki. Aku tahu
selama ini kau dibelenggu ketaatan kepada Romawi. Aku masih sayang akan Romawi
seperti juga kau. Islam tidak memisahkan kita dengan Romawi. Islam bukannya
milik bangsa Arab. Di sini aku ketemu orang-orang hitam dari benua Afrika yang
selama ini kita anggap hanya layak mengangkat tahi para petinggi kita, atasan
kita. Di sini segalanya sama lantas inilah yang menyadarkan aku tentang arti
kemuliaan insan yang tidak kita temui di Romawi.
Kita tetap sahabat. Agamaku tidak memutuskan rasa kasihku kepadamu. Kau
tetap seorang sahabat yang akan ku kenang selagi hayat ini di kandung badan.
Cuma aku harap persahabatan ini lebih manis kiranya dapat kau membuka hatimu
menerima hidayah-Nya. Semoga Allah menemukan kita, sahabat. Wassalam.
Margiteus
Argenta meremas surat itu di tangan. Ada kepedihan menjalar ke ulu
hatinya. Sakit dan perih. Apakah ini benteng egoisme paling tinggi yang
berusaha ditahannya atau gelombang pembelotan dari sahabat sejatinya. Argenta
mengepalkan tangan membiarkan tulang temulang jarinya berderap.
***
Pasukan Islam menuju utara Syria yang dipertahankan Kaisar Heraklius.
Kota Homs jatuh bertekuk lutut sebagaimana pasukan Romawi di Balbek ditumpas
abis. Bertempurlah kaum muslimin di kota Aleppo yang terkenal sangat tangguh
pertahanannya selama berabad-abad. Allah menolong kaum muslimin dengan
kemenangan yang dijanjikan-Nya. Pasukan Romawi akhirnya mundur ke benteng terakhir
di Antokiah. Tentara Romawi diperintah membuat serangan habis-habisan
mempertahan kota. Mereka digempur habis-habisan oleh pasukan Khalid.
Argenta memerah keringat di medan perang. Dia mengayunkan pedangnya
sesuka hati. Tidak berpikir lagi sabetan itu kena musuh atau kawan. Hatinya
terbagi dua. Satu sisi terbetik di hatinya kebenaran kata-kata Margiteus tetapi
egoismenya masih mengatasi segala-galanya.
“Argenta! Kuasa Allah telah menemukan kita.” Argenta menoleh.
Ditatapnya manusia di hadapannya. Gagah dengan (niqob) cadar hitamnya. Darah
yang mengalir di sekitar kening menyulitkannya mengenal dengan pasti orang
bercadar itu. Pedang berukir matahari menyadarka tanda tanya Argenta.
“Kau Margiteus”
“Apa kabar sahabatku.” Margiteus tersenyum menatap sahabatnya. Argenta
merasa terpukul dengan ketenangan yang tergambar di wajah sahabatnya itu.
Nampak jelas dia bahagia sekali dengan kehidupannya kini. Penuh keyakinan.
“Pembelot, kau mengkhianati bangsa Romawi,” Argenta berusaha memancung
kepala Margiteus. Margiteus tenang menahan diri. Mereka saling beradu pedang.
Sesekali pedang mereka bersilang. Margiteus dengan tenang terus mendakwahi
sahabatnya.
“Berimanlah kepada Allah, sahabatku. Kau bis berdamai dengan pihak
Islam bila bersepakat membayar jizyah kecali bila tidak mampu membayarnya. Kami
berjanji akan memberimu perlindungan. Kau tetap menjadi sahabatku. Romawi tetap
megah bahkan akan lebih bersinar dengan cahaya Islam.”
“Diam, pembelot!” Argenta naik pitam. Mereka bertarung hingga
melelahkan.
“Jangan menipu diri sendiri Argenta. Jangan mendustai hidayah yang
Allah turunkan padamu. Apakah akan kau biarkan rasa congkak dan egomu menguasai
dirimu?” Margiteus tidak putus-putus mendakwahi.
“Percayalah ucapanku. Kebenaran itu sudah kau temukan dalam dirimu.
Cuma kau masih ragu-ragu padahal dia sudah jelas di depan mata. Lihatlah dunia
yang kita arungi ini. Adakah karena Romawi megah seperti yang kau banggakan.
Adakah karena Romawi yang dibohongi dengan mitos dan kemustahilan menyekat nur
ilahi yang ada pada dirimu. Bangunlah sahabat.”
“Tutup mulutmu atau aku akan penggal kepalamu menjadi makanan
anjing-anjing Kaisar,” amuk Argenta semakin menjadi-jadi. Dia seakan tengah
melawan rasa bersalah yang dipendamnya. Benarkah dia membohongi dirinya. Kalau
dia benar mengapa hatinya memberontak. Menjerit meminta kebebasan dan
kebenaran. Ah…, aku benci semua ini!
Dalam keadaan termangu-mangu pedang Argenta terdesak ke tepi. Memberi
peluang terbuka bagi Margiteus untuk menebas kepala Argenta. Argenta terbeliak
memperhatikan mata pedang Margiteus jatuh tepat di hadapan mukanya. Tangan
Margiteus menggigil. Dia berusaha mengelak dan ini memberi peluang kepada
Argenta mencuri kemenangan. Perut Margiteus ditusuk hingga tembusi ke belakang
badannya. Darah memuncraut bersimbah ke muka Argenta. Rasa sesal menjalar
merasuki naluri Argenta. Lantas dia merangkul Margiteus yang hampir tersungkur.
Kedua-duanya melemah. Lesu.
“Lepaskan saja aku, Argenta. Uhh…. . Bukankah aku pembelot Romawi dan
mengkhianati persahabatan kita?”
“Kau dapat memancung kepala aku tadi. Mengapa tidak kau lakukan? Aku
lebih rela mati. Aku merasa sungguh bosan dan benci diriku sendiri.”
“Tahukah kau dalam Islam… membunuh seorang manusia itu bagaikan
membunuh seluruh umat manusia. Kami dibenarkan membunuh orang yang menentang
agama kami secara kekerasan. Itupun kepada yang mengangkat senjata. Tidak boleh
terjadi pembunuhan terhadap anak-anak, wanita dan orang tua serta yang uzur….
Ohhh”
“Akulah yang menentang kau dan agamamu. Mengapa kau tidak membunuhku saja.”
“Apakah ada pedang Romawi yang paling berat melainkan pedangku ini.
Pedang yang terpaksa aku jauhkan dari leher seorang sahabat sejati. Betapa
pedih kau mendustai dirimu, tapi lebih pedih lagi diriku yang memikirkan
persahabatan ini. Aku tak mampu menyisihkannya. Aku berdosa terhadap agamaku…
Allahhh…”
“Tidak, Margiteus. Agamamu adalah kebenaran yang ku cari. Cuma aku
khawatir kau sudah melupakan persahabatan kita. Aku terlalu egois. Aku menipu
diriku sendiri! Aku menipu kau wahai sahabat! Maafkan aku.”
“Cukuplah kau tahu betapa dalamnya persahabatan ini. Ingatlah, dalam
Islam kemanusiaan itu tidak hilang meskipun dalam peperangan. Kita bertemu
karena Allah dan berpisah juga karena-Nya. Kalau kau mengasihiku. Inilah aku
yang kau lihat akan mati. Kalau kau mencintai kehormatan dan kemegahanmu semua
itu juga akan lenyap dan binasa. Tapi seandainya kau mencintai Allah, Dia
sesungguhnya tidak pernah mati ataupun binasa….”
“Sungguh Margiteus. Aku bersumpah dengan nama tuhanmu. Aku beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Apakah aku akan membohongi diriku lagi di
saat kau begini..?”
Margiteus menahan perih luka tusukan pedang di lambungnya. Dirasakannya
luka tusukan itu telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia tersenyum mendengar
keimanan Argenta. Perlahan-lahan jasadnya kaku mengiringi lafaz syahadah di
mulutnya. Argenta terisak meratapi sahabatnya. Perang dirasanya sunyi. Sepi.
0 komentar:
Posting Komentar